MAKALAH AGAMA SHOLAT QOSOR
KATA PENGANTAR
Dengan
memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat
dankarunia-Nya kepada tim penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul:
“ KETENTUAN SHOLAT QOSOR “
Tim penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini
berkat bantuan dan tuntunanAllah SWT dan tidak lepas dari bantuan berbagai
pihak untuk itu dalam kesempatan ini penulismenghaturkan rasa hormat dan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yangmembantu dalam pembuatan
makalah ini.Tim penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini
masih dari jauh darikesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun
demikian, tim penulis telah berupayadengan segala kemampuan dan pengetahuan
yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik danoleh karenanya,
penulis dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima
masukan,saran danusul guna penyempurnaan
makalah ini.Akhirnya tim penulis berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi seluruh pembaca.
Pasuruan,03 Pebruari 2013
Penulis
LEMBAR PENGESAHAN
MAKALAH AGAMA
KEULETAN DAN KETELITIAN
GURU AGAMA
PENULIS
Abdl.Wakhid
M.Jam’ul jawamik, Ibhal
DAFTAR ISI
JUDUL……………………………………………………………………….1
Halaman pengesahan…………………………………………………………2
Kata pengantar………………………………………………………………..3
Daftar isi………………………………………………………………………4
Isi materi………………………………………………………………………5
Penutup kesimpulan dan saran…………………………………………………9
Daftar pustaka ………………………………………………………………….10
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah
SWT penulis panjatkan, karena atas hidayah, karunia serta limpahan rahmat-Nya
sehingga makalah ini dapat tersusun sebagai mana mestinya. Makalah yang
berjudul “SHALAT JAMA’ DAN QASHAR” ini disusun untuk memenuhi tugas Ujian Tengah Semester
mata kuliah “PENDIDIKAN AGAMA” yang dibina oleh Bapak Drs. Hafids di IKIP Budi Utomo Malang.
Islam
adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia. Maksudnya, Islam adalah agama
yang sesuai dengan kondisi dan keterbatasan yang dimiliki oleh manusia. Pada
keadaan normal, berlaku hukum ‘azimah (ketat). Dan pada keadaan tidak normal,
maka Islam mengakomodirnya dengan rukhsah (keringanan/ kemudahan) sehingga
syariat tetap dapat ditunaikan.
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu” (QS. al-Baqarah:185)
Islam juga dibangun dengan lima pilar.
Salah satu pilarnya adalah shalat. Karenanya shalat merupakan tiang agama.
Ketika seorang meninggalkan shalat ia disebut penghancur agama tetapi sebalikya
ketika ia melaksanakan shalat dengan sebaik-baiknya maka ia disebut sebagai
penegak agama. Bila ada yang memiliki udzur, maka
tetap wajib mendirikan shalat dengan mengambil rukhshah (keringanan dari Allah)
agar mereka tetap shalat di saat kondisi apa pun. Dan sudah seharusnya kita mengetahui
tentang bagaimana Allah telah memudahkan hamba-Nya yang tidak bisa shalat seperti biasanya dengan
menggunakan Jama’ dan Qashar. Menjama’ dan mengqasar shalat adalah rukhshah atau
keringanan yang diberikan Allah kepada hambanya karena adanya kondisi yang
menyulitkan. Rukhshah ini merupakan shodakoh dari Allah SWT yang dianjurkan
untuk diterima dengan penuh ketawadlu’an. Melalui makalah ini penulis mencoba
untuk menguraikan tentang sholat jama’ dan qashar.
Atas selesainya penulisan
makalah ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua
orang tua yang telah memberikan motivasi, serta teman-teman dan pihak-pihak
yang telah berkontribusi dalam penulisan makalah ini yang tidak bisa disebutkan
satu persatu.
Makalah ini tersusun dengan
segala keterbatasan ilmu pengetahuan, oleh karenanya kritik saran serta masukan
yang sifatnya membangun sangat diharapkan sebagai bahan perbaikan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan pencerahan kepada umat Islam dalam
beribadah kepada Allah SWT. Jazakumullahu Khairan Katsiran.
pasuruan,
03februari 2013
Penulis
PENDAHULUAN
Perjalanan,
merupakan salah satu kegiatan yang tidak dapat dielakkan dalam kehidupan
manusia, apa lagi pada jaman modern ini. Perjalanan selalu membutuhkan tenaga
dan menyita waktu kita, entah itu banyak atau sedikit. Meski dengan
berkembangnya teknologi transportasi, jarak tempuh perjalanan tidak selalu
berbanding lurus dengan waktu yang dibutuhkan, karena ada faktor lain yang
sangat menentukan, yaitu alat transportasi yang dipergunakan.
Demi sebuah perjalanan, banyak hal dan kadang kewajiban yang dengan terpaksa meski kita tinggalkan atau pun kita tunda. Namun ada kewajiban-kewajiban yang tidak boleh kita tinggalkan meski dengan alasan perjalanan. Salah satunya adalah kewajiban terhadap sang khalik, yaitu Sholat 5 waktu. Dalam Islam sudah ditentukan aturan-aturan yang sangat mempermudah bagi para musafir. Sholat yang dilaksanakan dalam perjalanan biasa disebut sholatus safar.
Islam adalah agama Allah SWT yang banyak memberikan kemudahan kepada para pemeluknya didalam melakukan berbagai ibadah dan amal sholehnya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al Baqoroh : 185)
: “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al Hajj : 78)
Islam juga dibangun dengan lima pilar. Salah satu pilarnya adalah shalat. Karenanya shalat merupakan tiang agama. Ketika seorang meninggalkan shalat ia disebut penghancur agama tetapi sebalikya ketika ia melaksanakan shalat dengan sebaik-baiknya maka ia disebut sebagai penegak agama. Karenanya, seorang muslim tidak boleh meninggalkan shalat walau bagaimanapun juga tak terkecuali dalam bepergian.
Seperti halnya seorang yang tidak memiliki air untuk berwudhu maka ia diperbolehkan bertayammum, begitupula dengan sholat yang dapat dilakukan dengan cara dijama’ (dirangkap) maupun diqoshor (dipotong).
Dengan demikian, pembahasan kali ini akan membahas tentang jama’ qashar dan menjama’ shalat.
Demi sebuah perjalanan, banyak hal dan kadang kewajiban yang dengan terpaksa meski kita tinggalkan atau pun kita tunda. Namun ada kewajiban-kewajiban yang tidak boleh kita tinggalkan meski dengan alasan perjalanan. Salah satunya adalah kewajiban terhadap sang khalik, yaitu Sholat 5 waktu. Dalam Islam sudah ditentukan aturan-aturan yang sangat mempermudah bagi para musafir. Sholat yang dilaksanakan dalam perjalanan biasa disebut sholatus safar.
Islam adalah agama Allah SWT yang banyak memberikan kemudahan kepada para pemeluknya didalam melakukan berbagai ibadah dan amal sholehnya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al Baqoroh : 185)
: “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al Hajj : 78)
Islam juga dibangun dengan lima pilar. Salah satu pilarnya adalah shalat. Karenanya shalat merupakan tiang agama. Ketika seorang meninggalkan shalat ia disebut penghancur agama tetapi sebalikya ketika ia melaksanakan shalat dengan sebaik-baiknya maka ia disebut sebagai penegak agama. Karenanya, seorang muslim tidak boleh meninggalkan shalat walau bagaimanapun juga tak terkecuali dalam bepergian.
Seperti halnya seorang yang tidak memiliki air untuk berwudhu maka ia diperbolehkan bertayammum, begitupula dengan sholat yang dapat dilakukan dengan cara dijama’ (dirangkap) maupun diqoshor (dipotong).
Dengan demikian, pembahasan kali ini akan membahas tentang jama’ qashar dan menjama’ shalat.
ISI MATERI
Qashar
artinya memendekkan atau meringkas. Shalat qashar maksudnya adalah
meringkas jumlah rakaat shalat yang empat menjadi dua; misalnya shalat dzuhur,
‘ashar dan ‘isya’. Hal ini boleh dilakukan berdasarkan firman Allah Swt:
Artinya : “dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka
tidaklah mengapa kamu men-qasharsembahyang(mu), jika kamu takut diserang
orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata
bagimu” .(QS. An-Nisa’:101)
- SAFAR
Dan diantara Asbaabut Takhfif (sebab-sebab
keringan) adapun bentuk Rukhshah dalam safar yaitu menjama' shalat.
Safar adalah keluar dari daerah kediaman ke tempat lain, dan jarak minimal
safar 5 km, dan masih berniat (bermaksud) kembali ke tempat asalnya.
Berdasarkan ayat 101 dan hadits di atas
berarti tidak semua keadaan, seseorang dapat mengqashar shalat, hanya
diperbolehkan dan dilakukan bagi orang yang melakukan safar (perjalanan) yang
kemudian orang itu disebut Musafir.
Dalam
ayat ini ada istilah jika kamu khawatir diganggu oleh orang kafir, sementara
untuk saat ini gangguan itu sudah tidak ada lagi (aman-aman saja) bagaimana
hukum ayat ini apa masih boleh kita melakukan shalat dengan qashar. Kalau
demikian hukum pada ayat ini tetap berlaku, sekalipun gangguan itu sudah tidak
ada lagi,
عَنْ يَعْلَى بْنِ أُمَيَّةَ قَالَ قُلْتُ لِعُمَرَ بْنِ
الْخَطَّابِ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوامِنْ الصَّلاَةِ إِنْ
خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمْ الَّذِينَ كَفَرُوا فَقَدْ أَمِنَ النَّاسُ فَقَالَ
عَجِبْتُ مِمَّا عَجِبْتَ مِنْهُ فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللهُ بِهَا عَلَيْكُمْ
فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ.
“Diriwayatkan dari
Ya’la Ibn Umayyah, ia berkata: Saya bertanya kepada ‘Umar Ibnul Khaththab
tentang (firman Allah): "Laisa ‘alaikum junahun an taqshuru minashalah in
khiftum an yaftinakumu-lladzina kafaru". Padahal sesungguhnya orang-orang dalam keadaan aman.
Kemudian Umar berkata: Saya juga heran sebagaimana anda heran terhadap hal itu.
Kemudian saya menanyakan hal itu kepada Rasulullah saw. Beliau bersabda: Itu
adalah pemberian Allah yang diberikan kepada kamu sekalian, maka terimalah
pemberian-Nya.” (HR. Jama’ah)
أَمَرَنَا أَنْ
نُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ فِي السَّفَرِ
“Rasulullah memerintahkan kami agar shalat dua rakaat
dalam safar.”(HR.
Ahmad, Ibnu Hibban, Baihaqi dan Khuzaimah dan rawi yang dipercaya)
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ
الْعَصْرِ ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا فَإِنْ زَاغَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ
يَرْتَحِلَ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ.متفق عليه
“Diriwayatkan dari Anas ra, ia berkata bahwa Rasulullah saw
jika berangkat dalam bepergiannya sebelum terdelincir matahari, beliau
mengakhirkan shalat dhuhur ke waktu shalat ‘ashar; kemudian beliau turun dari
kendaraan kemudian beliau menjama’ dua shalat tersebut. Apabila sudah
tergelincir matahari sebelum beliau berangkat, beliau shalat dhuhur
terlebih dahulu kemudian naik kendaraan.” (HR. Muttafaqun 'Alaih)
- JARAK BOLEHNYA QASHAR
Firman Allah dan hadits shahih di atas,
maka dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa setiap pebergian bisa mengqashar
shalat. Dan tidak ada hadits shahih dari nabi Saw yang menerangkan adanya jarak
minimal mengqashar shalat.
Ada
riwayat yang mengatakan dari shahabat Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Saw
mengqashar shalat dalam perjalanan yang berukuran 3 mil atau 1 farsakh.
عَنْ شُعْبَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَزِيْدِ اْلهَنَائِيّ قَالَ: سَأَلْتُ اَنَسًا عَنْ قَصْرِ الصَّلاَةِ فَقَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص اِذَا خَرَجَ مَسِيْرَةَ ثَلاَثَةِ
اَمْيَالٍ اَوْ ثَلاَثَةِ فَرَاسِخَ صَلَّى َكْعَتَيْنِ
“Dari Syu’bah dari Yahya bin Yazid Al-Hanaiy, ia berkata :
Aku pernah bertanya kepada Anas tentang mengqashar shalat, lalu ia
menjawab, “Adalah Rasulullah SAW apabila bepergian sejauh tiga mil atau
tiga farsakh, maka beliau shalat dua reka’at”. (Syu’bah ragu, tiga mil atau
tiga farsakh”
(HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan Baihaqi)
كَانَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَافَرَ فَرَاسَخًا يُقَصِّرُ
الصَّلاَة
“Adapun Rasulullah SAW bila bepergian sejauh satu farsakh,
maka beliau mengqashar Shalat”(HR. Sa’id bin Manshur. Dan disebutkan oleh Hafidz dalam
at-Talkhish, ia mendiamkan adanya hadits ini, sebagai tanda mengakuinya)
Lahiriyah hadits ini, berhubungan
dengan qashar, dan setiap orang yang boleh mengqashar shalat berarti boleh
menjama’nya, artinya dalil ini adalah dalil shalat jama’ dan qashar.
Ibnu
Hazm dalam al-Mahalla5:20. mengatakan bahwa jarak minimal boleh mengqashar
shalat adalah 1 mil.
Catatan:
Satu
mil = 1609 meter
Tiga
mil = 4827 meter
Jadi
1 Farskh = 3 mil, 3 mil ± 5 km
Jama’ taqdim itu dilakukan ketika
safar, sedangkan safar itu batas minimal 3 mil (± 5 km) artinya jama’ itu sudah
dapat dilakukan pada jarak 3 mil dari batas daerah (luar kota), maka dari itu
pendapat yang mengatakan harus berjarak 80 km itu tidak dapat dijadikan dasar,
karena dasar atau dalil yang ada tidak shahih, jadi kita kembali kepada
ketentuan batas minimal yaitu 3 mil yang sudah jelas ada nash shahih yang
mendasarinya.
Memang
ada riwayat yang menyatakan tidak bolehnya qashar jika kurang dari 4 barid (±
80 km) yaitu;
يَا أَهْلَ مَكَّةَ لاَ تَقْصُرُوا الصَّلاَةَ فِى أَدْنَى
مِنْ أَرْبَعَةِ بُرُدٍ مِنْ مَكَّةَ إِلَى عُسْفَانَ
“Hai penduduk Makkah, janganlah kalian mengqashar shalat
dalam jarak
kurang dari empat barid, dari Makkah ke Usfan.” (HR. Daraquthni)
kurang dari empat barid, dari Makkah ke Usfan.” (HR. Daraquthni)
Menurut riyawat di atas, qashar boleh
dilakukan setelah mencapai jarak 80 km, demikian juga dengan jama’ taqdim
banyak orang yang mengaitkannya dengan qashar, yang boleh dilakukan.
Setelah dilakukan penelitian dari
hadits di atas, ternyata DHA’IF, sebab dalam sanadnya ada ’ABDUL
WAHAB bin MUJAHID, yang oleh al-Hakim dinyatakan bahwa ia biasa
meriwayatkan hadits-hadits maudhu’ (palsu), sementara Sofyan ats-Tsauri
mendustakannya, dan dalam Nailul Authar dinyatakan Madruk, sedangkan al-Azdi
menyatakan tidak halal riwayat darinya, (Tahdzibut Tahdzib VI:453,
Talkhishul-habir, Nailul Authar III:235, Irwa’ul Ghalil III:13 No. 565 dan juga
dalam Ibanatul Ahkam II:63 No.35)
- BATAS WAKTU MUSAFIR
Perjalanan (safar) ada 2 maksud yaitu
safar dengan maksud menetap selamanya, ada juga safar hanya sebatas keperluan
saja, setelah selesai ia kembali ke daerah asalnya. Dari 2 maksud tersebut,
musafir (orang yang sedang melakukan perjalanan) sama-sama boleh mengqashar
shalat, hanya saja berbeda dalam batas waktu (lamanya) boleh mengqashar shalat
bagi musafir tersebut.
Jika seorang musafir berniat
(bermaksud) menetap di suatu tempat, maka ia boleh mengqashar shalat sampai 4
hari, sebagaimana perbuatan Nabi Saw sewaktu ada di Makkah selama 4 hari,
beliau mengqashar shalat, selebihnya ia tidak mengqasharnya.
Jika
seseorang tidak berniat (bermaksud) menetap dalam artian masih mau kembali lagi
ke daerahnya, maka selama menyelesaikan keperluannya itu ia boleh mengqashar
shalat,
أَقَامَ النَّبِيُّ تِسعَةَ عَشَرَ يَقصُرُ، فَنَحنُ إِذَا سَافَرنَا تِسعَةَ
عَشَرَ قَصَرنَا وَإِن زِدنَا أَتمَمنَا
“Nabi shallallahu alaihi wasallam tinggal di tepat safarnya
selama 19 hari sambil mengqashar shalat. Karenanya, jika kami safar selama 19
hari kami mengqashar dan jika lebih maka kami melakukan shalat itmam.”(HR. Bukhari:1080) juga ketika berada di Tabuk selama 20
hari, beliau mengqashar shalat.
- MUSAFIR - MUQIM BOLEH BERJAMA’AH
Bagi
musafir boleh menjadi imam bagi orang yang muqim, dan dan juga sebaliknya,
demikian juga orang shalat wajib boleh bermakmum kepada orang yang shalat
sunnah dengan setelah salam wajib melengkapi (menyempurnakan) jumlah
raka'atnya. Orang yang muqim harus melengkapi raka'at kekuarangannya. Dan
apabila orang musafir bermakmum kepada orang yang muqim, maka harus melengkapi
jumlah raka'atnya (tidak boleh qashar) setelah salam baru melanjutkan shalat
jama'nya. Contoh: ketika kita mengadakan perjalanan, maka dibolehkan untuk
shalat bersama dengan orang-orang yang shalat, artinya tidak harus bersama
dengan rombongan.
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ
حُصَيْنٍ قَالَ: غَزَوْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ص وَ شَهِدْتُ مَعَهُ اْلفَتْحَ،
فَاَقَامَ بِمَكَّةَ ثَمَانِيَ عَشَرَةَ لَيْلَةً، لاَ يُصَلّى اِلاَّ
رَكْعَتَيْنِ يَقُوْلُ: يَا اَهْلَ اْلبَلَدِ، صَلُّوْا
اَرْبَعًا فَاِنَّا قَوْمٌ سَفْرٌ
“Dari ‘Imran bin
Hushain, ia berkata : Aku pernah berperang bersama Nabi SAW, dan aku mengikuti
penaklukan (Makkah) bersama beliau, lalu beliau tinggal di Makkah selama
delapan belas hari, beliau tidak pernah shalat kecuali dua rekaat, beliau
bersabda, “Hai penduduk Makkah, shalatlah empat rekaat, karena kami adalah
musafir”
(HR. Ahmad:4/430)
كُنَّا مَعَ ابْنِ عَبَّاسٍ بِمَكَّةَ فَقُلْتُ إِنَّا إِذَا
كُنَّا مَعَكُمْ صَلَّيْنَا أَرْبَعاً وَإِذَا رَجَعْنَا إِلَى رِحَالِنَا
صَلَّيْنَا رَكْعَتَيْنِ قَالَ تِلْكَ سُنَّةُ أَبِى الْقَاسِمِ -صلى الله عليه
وسلم-.
“Kami pernah bersama Ibnu ‘Abbas di Makkah. Kemudian Musa
mengatakan, “Mengapa jika kami (musafir) shalat di belakang kalian (yang bukan
musafir) tetap melaksanakan shalat empat raka’at (tanpa diqoshor). Namun ketika
kami bersafar, kami melaksanakan shalat dua raka’at (dengan diqoshor)?” Ibnu
‘Abbas pun menjawab, “Inilah yang diajarkan oleh Abul Qosim (Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam).” (HR. Ahmad:1/216)
Jadi kepada siapa saja kita bermakmum
(sesuai ketentuan syari'at Islam), pada hakikatnya adalah boleh, karena aturan
shalat itu sama( nidzamnya sama)
- KERINGANAN BAGI MUSAFIR
Keringan
diberikan kepada musafir (orang yang bepergian) karena sangat dibutuhkan
diantaranya:
- Mengqashar shalat (dzuhur dan 'ashar, dan 'isya')
- Menjama' shalat (dzuhur dan 'ashar, maghrib dan 'isya')
- Tidak puasa siang hari di bulan Ramadhan
- Mengerjakan shalat sunnah di atas kendaraan, menghadap sesuai melajunya kendaraan yang tumpanginya
- Mengerjakan shalat sunnah sambil berjalan, bagi musafir yang berjalan kaki
- Mengusap sepatu (ketika berwudhu' sepatunya tidak dilepas
- Tidak mengapa meninggalkan sunnah rawatib (shalat sunnah yang mengiringi shalat wajib)
- Menetapkan pahala amal, yang biasa dilakukan ketika muqim (tidak dalam bepergian)
- ALASAN NABI SAW MELAKUKAN JAMA' QASHAR
Shalat
jama' dan qashar dalam pelaksanaannya harus di pisah dengan iqamah, artinya
setelah selesai melakukan shalat yang pertama, maka harus iqamah untuk shalat
berikutnya.
حَتَّى أَتَى الْمُزْدَلِفَةَ فَصَلَّى بِهَا الْمَغْرِبَ
وَالْعِشَاءَ بِأَذَانٍ وَاحِدٍ وَإِقَامَتَيْنِ
”Ketika beliau sampai
ke Muzdalifah, beliau menjamak shalat Maghrib dan ’Isya dengan sekali adzan dan
dua kali iqomah.”
(HR. Muslim)
PENUTUP KESIMPULAN DAN SARAN
Dari paparan di atas dapat difahami
bahwa shalat jama’ dan qashar merupakan rukhsah dan dibolehkan dalam bepergian
atau keadaan darurat. Prinsipnya selagi manusia mempunyai kesempatan untuk
melakukan shalat dan tidak menjadi darurat, selayaknya manusia tidak malu untuk
segera melaksanakan shalat seperti biasanya. Menjadi suatu kewajiban bagi yang
melaksanakan shalat menjadi suri tauladan bagi yang lain sehingga mengajari
yang lainnya. Karena yang demikian adalah dari syi’ar Islam yang mesti
dimuliakan.
Bagi yang mendapati kesulitan atau
kesukaran dalam tiap kali shalat pada waktunya maka memungkinkan baginya untuk
menjama’ shalat. Pemaparan hal itu sudah dikemukakan di atas tetapi dengan
syarat tidak menjadi kebiasaan dan rutin dan hal tersebut tidak bermaksud
selain untuk memudahkan dan tidak menyulitkan umat. Demikian, meski sering
jalan-jalan, dan menempuh perjalanan panjang jangan lupa melaksakan sholat 5
waktu.
DAFTAR PUSTAKA
0 comments:
Post a Comment