MAKALAH AGAMA SHOLAT QOSOR



KATA PENGANTAR


Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dankarunia-Nya kepada  tim penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul:
“ KETENTUAN SHOLAT QOSOR “
 Tim penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunanAllah SWT dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak untuk itu dalam kesempatan ini penulismenghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yangmembantu dalam pembuatan makalah ini.Tim penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih dari jauh darikesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, tim penulis telah berupayadengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik danoleh karenanya,  penulis dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima masukan,saran danusul guna penyempurnaan makalah ini.Akhirnya tim penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.

Pasuruan,03 Pebruari 2013 
Penulis 














LEMBAR PENGESAHAN
MAKALAH AGAMA
KEULETAN DAN KETELITIAN







GURU AGAMA                                                       PENULIS


Abdl.Wakhid                                                         M.Jam’ul jawamik, Ibhal


 


















DAFTAR ISI

JUDUL……………………………………………………………………….1
Halaman pengesahan…………………………………………………………2
Kata pengantar………………………………………………………………..3
Daftar isi………………………………………………………………………4
Isi materi………………………………………………………………………5
Penutup kesimpulan dan saran…………………………………………………9
Daftar pustaka ………………………………………………………………….10



























KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan, karena atas hidayah, karunia serta limpahan rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat tersusun sebagai mana mestinya. Makalah yang berjudul “SHALAT JAMA’ DAN QASHAR” ini disusun untuk memenuhi tugas Ujian Tengah Semester mata kuliah “PENDIDIKAN AGAMA” yang dibina oleh Bapak Drs. Hafids di IKIP Budi Utomo Malang.
Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia. Maksudnya, Islam adalah agama yang sesuai dengan kondisi dan keterbatasan yang dimiliki oleh manusia. Pada keadaan normal, berlaku hukum ‘azimah (ketat). Dan pada keadaan tidak normal, maka Islam mengakomodirnya dengan rukhsah (keringanan/ kemudahan) sehingga syariat tetap dapat ditunaikan.
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”  (QS. al-Baqarah:185)
Islam juga dibangun dengan lima pilar. Salah satu pilarnya adalah shalat. Karenanya shalat merupakan tiang agama. Ketika seorang meninggalkan shalat ia disebut penghancur agama tetapi sebalikya ketika ia melaksanakan shalat dengan sebaik-baiknya maka ia disebut sebagai penegak agama. Bila ada yang memiliki udzur, maka tetap wajib mendirikan shalat dengan mengambil rukhshah (keringanan dari Allah) agar mereka tetap shalat di saat kondisi apa pun. Dan sudah seharusnya kita mengetahui tentang bagaimana Allah telah memudahkan hamba-Nya yang tidak bisa shalat seperti biasanya dengan menggunakan Jama’ dan Qashar. Menjama’ dan mengqasar shalat adalah rukhshah atau keringanan yang diberikan Allah kepada hambanya karena adanya kondisi yang menyulitkan. Rukhshah ini merupakan shodakoh dari Allah SWT yang dianjurkan untuk diterima dengan penuh ketawadlu’an. Melalui makalah ini penulis mencoba untuk menguraikan tentang sholat jama’ dan qashar.
Atas selesainya penulisan makalah ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua yang telah memberikan motivasi, serta teman-teman dan pihak-pihak yang telah berkontribusi dalam penulisan makalah ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Makalah ini tersusun dengan segala keterbatasan ilmu pengetahuan, oleh karenanya kritik saran serta masukan yang sifatnya membangun sangat diharapkan sebagai bahan perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan pencerahan kepada umat Islam dalam beribadah kepada Allah SWT. Jazakumullahu Khairan Katsiran.
pasuruan, 03februari  2013

Penulis



























PENDAHULUAN
Perjalanan, merupakan salah satu kegiatan yang tidak dapat dielakkan dalam kehidupan manusia, apa lagi pada jaman modern ini. Perjalanan selalu membutuhkan tenaga dan menyita waktu kita, entah itu banyak atau sedikit. Meski dengan berkembangnya teknologi transportasi, jarak tempuh perjalanan tidak selalu berbanding lurus dengan waktu yang dibutuhkan, karena ada faktor lain yang sangat menentukan, yaitu alat transportasi yang dipergunakan.

Demi sebuah perjalanan, banyak hal dan kadang kewajiban yang dengan terpaksa meski kita tinggalkan atau pun kita tunda. Namun ada kewajiban-kewajiban yang tidak boleh kita tinggalkan meski dengan alasan perjalanan. Salah satunya adalah kewajiban terhadap sang khalik, yaitu Sholat 5 waktu. Dalam Islam sudah ditentukan aturan-aturan yang sangat mempermudah bagi para musafir. Sholat yang dilaksanakan dalam perjalanan biasa disebut sholatus safar.

Islam adalah agama Allah SWT yang banyak memberikan kemudahan kepada para pemeluknya didalam melakukan berbagai ibadah dan amal sholehnya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al Baqoroh : 185)

: “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al Hajj : 78)

Islam juga dibangun dengan lima pilar. Salah satu pilarnya adalah shalat. Karenanya shalat merupakan tiang agama. Ketika seorang meninggalkan shalat ia disebut penghancur agama tetapi sebalikya ketika ia melaksanakan shalat dengan sebaik-baiknya maka ia disebut sebagai penegak agama. Karenanya, seorang muslim tidak boleh meninggalkan shalat walau bagaimanapun juga tak terkecuali dalam bepergian.

Seperti halnya seorang yang tidak memiliki air untuk berwudhu maka ia diperbolehkan bertayammum, begitupula dengan sholat yang dapat dilakukan dengan cara dijama’ (dirangkap) maupun diqoshor (dipotong).

Dengan demikian, pembahasan kali ini akan membahas tentang jama’ qashar dan menjama’ shalat.





ISI MATERI
Qashar artinya memendekkan atau meringkas. Shalat qashar maksudnya adalah meringkas jumlah rakaat shalat yang empat menjadi dua; misalnya shalat dzuhur, ‘ashar dan ‘isya’. Hal ini boleh dilakukan berdasarkan firman Allah Swt:
Artinya : “dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qasharsembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu” .(QS. An-Nisa’:101)
  1. SAFAR
Dan diantara Asbaabut Takhfif (sebab-sebab keringan) adapun bentuk Rukhshah dalam safar yaitu menjama' shalat. Safar adalah keluar dari daerah kediaman ke tempat lain, dan jarak minimal safar 5 km, dan masih berniat (bermaksud) kembali ke tempat asalnya.
Berdasarkan ayat 101 dan hadits di atas berarti tidak semua keadaan, seseorang dapat mengqashar shalat, hanya diperbolehkan dan dilakukan bagi orang yang melakukan safar (perjalanan) yang kemudian orang itu disebut Musafir.
Dalam ayat ini ada istilah jika kamu khawatir diganggu oleh orang kafir, sementara untuk saat ini gangguan itu sudah tidak ada lagi (aman-aman saja) bagaimana hukum ayat ini apa masih boleh kita melakukan shalat dengan qashar. Kalau demikian hukum pada ayat ini tetap berlaku, sekalipun gangguan itu sudah tidak ada lagi,
عَنْ يَعْلَى بْنِ أُمَيَّةَ قَالَ قُلْتُ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوامِنْ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمْ الَّذِينَ كَفَرُوا فَقَدْ أَمِنَ النَّاسُ فَقَالَ عَجِبْتُ مِمَّا عَجِبْتَ مِنْهُ فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ.
“Diriwayatkan dari Ya’la Ibn Umayyah, ia berkata: Saya bertanya kepada ‘Umar Ibnul Khaththab tentang (firman Allah): "Laisa ‘alaikum junahun an taqshuru minashalah in khiftum an yaftinakumu-lladzina kafaru". Padahal sesungguhnya orang-orang dalam keadaan aman. Kemudian Umar berkata: Saya juga heran sebagaimana anda heran terhadap hal itu. Kemudian saya menanyakan hal itu kepada Rasulullah saw. Beliau bersabda: Itu adalah pemberian Allah yang diberikan kepada kamu sekalian, maka terimalah pemberian-Nya.” (HR. Jama’ah)
أَمَرَنَا أَنْ نُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ فِي السَّفَرِ
“Rasulullah  memerintahkan kami agar shalat dua rakaat dalam safar.”(HR. Ahmad, Ibnu Hibban, Baihaqi dan Khuzaimah dan rawi yang dipercaya)
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا فَإِنْ زَاغَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ.متفق عليه
“Diriwayatkan dari Anas ra, ia berkata bahwa Rasulullah saw jika  berangkat dalam bepergiannya sebelum terdelincir matahari, beliau mengakhirkan shalat dhuhur ke waktu shalat ‘ashar; kemudian beliau turun dari kendaraan kemudian beliau menjama’ dua shalat tersebut. Apabila sudah tergelincir matahari sebelum beliau berangkat, beliau shalat dhuhur terlebih  dahulu kemudian naik kendaraan.” (HR. Muttafaqun 'Alaih)
  1. JARAK BOLEHNYA QASHAR
Firman Allah dan hadits shahih di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa setiap pebergian bisa mengqashar shalat. Dan tidak ada hadits shahih dari nabi Saw yang menerangkan adanya jarak minimal mengqashar shalat.
Ada riwayat yang mengatakan dari shahabat Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Saw mengqashar shalat dalam perjalanan yang berukuran 3 mil atau 1 farsakh.
عَنْ شُعْبَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَزِيْدِ اْلهَنَائِيّ قَالَ: سَأَلْتُ اَنَسًا عَنْ قَصْرِ الصَّلاَةِ فَقَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص اِذَا خَرَجَ مَسِيْرَةَ ثَلاَثَةِ اَمْيَالٍ اَوْ ثَلاَثَةِ فَرَاسِخَ صَلَّى َكْعَتَيْنِ
“Dari Syu’bah dari Yahya bin Yazid Al-Hanaiy, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Anas tentang mengqashar shalat, lalu ia menjawab, “Adalah Rasulullah SAW apabila bepergian sejauh tiga mil atau tiga farsakh, maka beliau shalat dua reka’at”. (Syu’bah ragu, tiga mil atau tiga farsakh” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan Baihaqi)
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَافَرَ فَرَاسَخًا يُقَصِّرُ الصَّلاَة
“Adapun Rasulullah SAW bila bepergian sejauh satu farsakh, maka beliau mengqashar Shalat”(HR. Sa’id bin Manshur. Dan disebutkan oleh Hafidz dalam at-Talkhish, ia mendiamkan adanya hadits ini, sebagai tanda mengakuinya)
Lahiriyah hadits ini, berhubungan dengan qashar, dan setiap orang yang boleh mengqashar shalat berarti boleh menjama’nya, artinya dalil ini adalah dalil shalat jama’ dan qashar.
Ibnu Hazm dalam al-Mahalla5:20. mengatakan bahwa jarak minimal boleh mengqashar shalat adalah 1 mil.
Catatan:
Satu mil = 1609 meter
Tiga mil = 4827 meter
Jadi 1 Farskh = 3 mil, 3 mil ± 5 km
Jama’ taqdim itu dilakukan ketika safar, sedangkan safar itu batas minimal 3 mil (± 5 km) artinya jama’ itu sudah dapat dilakukan pada jarak 3 mil dari batas daerah (luar kota), maka dari itu pendapat yang mengatakan harus berjarak 80 km itu tidak dapat dijadikan dasar, karena dasar atau dalil yang ada tidak shahih, jadi kita kembali kepada ketentuan batas minimal yaitu 3 mil yang sudah jelas ada nash shahih yang mendasarinya.
Memang ada riwayat yang menyatakan tidak bolehnya qashar jika kurang dari 4 barid (± 80 km) yaitu;
يَا أَهْلَ مَكَّةَ لاَ تَقْصُرُوا الصَّلاَةَ فِى أَدْنَى مِنْ أَرْبَعَةِ بُرُدٍ مِنْ مَكَّةَ إِلَى عُسْفَانَ
“Hai penduduk Makkah, janganlah kalian mengqashar shalat dalam jarak
kurang dari empat barid, dari Makkah ke Usfan.”
(HR. Daraquthni)
Menurut riyawat di atas, qashar boleh dilakukan setelah mencapai jarak 80 km, demikian juga dengan jama’ taqdim banyak orang yang mengaitkannya dengan qashar, yang boleh dilakukan.
Setelah dilakukan penelitian dari hadits di atas, ternyata DHA’IF, sebab dalam sanadnya ada ’ABDUL WAHAB bin MUJAHID, yang oleh al-Hakim dinyatakan bahwa ia biasa meriwayatkan hadits-hadits maudhu’ (palsu), sementara Sofyan ats-Tsauri mendustakannya, dan dalam Nailul Authar dinyatakan Madruk, sedangkan al-Azdi menyatakan tidak halal riwayat darinya, (Tahdzibut Tahdzib VI:453, Talkhishul-habir, Nailul Authar III:235, Irwa’ul Ghalil III:13 No. 565 dan juga dalam Ibanatul Ahkam II:63 No.35)
  1. BATAS WAKTU MUSAFIR
Perjalanan (safar) ada 2 maksud yaitu safar dengan maksud menetap selamanya, ada juga safar hanya sebatas keperluan saja, setelah selesai ia kembali ke daerah asalnya. Dari 2 maksud tersebut, musafir (orang yang sedang melakukan perjalanan) sama-sama boleh mengqashar shalat, hanya saja berbeda dalam batas waktu (lamanya) boleh mengqashar shalat bagi musafir tersebut.
Jika seorang musafir berniat (bermaksud) menetap di suatu tempat, maka ia boleh mengqashar shalat sampai 4 hari, sebagaimana perbuatan Nabi Saw sewaktu ada di Makkah selama 4 hari, beliau mengqashar shalat, selebihnya ia tidak mengqasharnya.
Jika seseorang tidak berniat (bermaksud) menetap dalam artian masih mau kembali lagi ke daerahnya, maka selama menyelesaikan keperluannya itu ia boleh mengqashar shalat,
أَقَامَ النَّبِيُّ تِسعَةَ عَشَرَ يَقصُرُ، فَنَحنُ إِذَا سَافَرنَا تِسعَةَ عَشَرَ قَصَرنَا وَإِن زِدنَا أَتمَمنَا
“Nabi shallallahu alaihi wasallam tinggal di tepat safarnya selama 19 hari sambil mengqashar shalat. Karenanya, jika kami safar selama 19 hari kami mengqashar dan jika lebih maka kami melakukan shalat itmam.”(HR. Bukhari:1080) juga ketika berada di Tabuk selama 20 hari, beliau mengqashar shalat.
  1. MUSAFIR - MUQIM BOLEH BERJAMA’AH
Bagi musafir boleh menjadi imam bagi orang yang muqim, dan dan juga sebaliknya, demikian juga orang shalat wajib boleh bermakmum kepada orang yang shalat sunnah dengan setelah salam wajib melengkapi (menyempurnakan) jumlah raka'atnya. Orang yang muqim harus melengkapi raka'at kekuarangannya. Dan apabila orang musafir bermakmum kepada orang yang muqim, maka harus melengkapi jumlah raka'atnya (tidak boleh qashar) setelah salam baru melanjutkan shalat jama'nya. Contoh: ketika kita mengadakan perjalanan, maka dibolehkan untuk shalat bersama dengan orang-orang yang shalat, artinya tidak harus bersama dengan rombongan.
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ: غَزَوْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ص وَ شَهِدْتُ مَعَهُ اْلفَتْحَ، فَاَقَامَ بِمَكَّةَ ثَمَانِيَ عَشَرَةَ لَيْلَةً، لاَ يُصَلّى اِلاَّ رَكْعَتَيْنِ يَقُوْلُ: يَا اَهْلَ اْلبَلَدِ، صَلُّوْا اَرْبَعًا فَاِنَّا قَوْمٌ سَفْرٌ
“Dari ‘Imran bin Hushain, ia berkata : Aku pernah berperang bersama Nabi SAW, dan aku mengikuti penaklukan (Makkah) bersama beliau, lalu beliau tinggal di Makkah selama delapan belas hari, beliau tidak pernah shalat kecuali dua rekaat, beliau bersabda, “Hai penduduk Makkah, shalatlah empat rekaat, karena kami adalah musafir” (HR. Ahmad:4/430) 
كُنَّا مَعَ ابْنِ عَبَّاسٍ بِمَكَّةَ فَقُلْتُ إِنَّا إِذَا كُنَّا مَعَكُمْ صَلَّيْنَا أَرْبَعاً وَإِذَا رَجَعْنَا إِلَى رِحَالِنَا صَلَّيْنَا رَكْعَتَيْنِ قَالَ تِلْكَ سُنَّةُ أَبِى الْقَاسِمِ -صلى الله عليه وسلم-.
“Kami pernah bersama Ibnu ‘Abbas di Makkah. Kemudian Musa mengatakan, “Mengapa jika kami (musafir) shalat di belakang kalian (yang bukan musafir) tetap melaksanakan shalat empat raka’at (tanpa diqoshor). Namun ketika kami bersafar, kami melaksanakan shalat dua raka’at (dengan diqoshor)?” Ibnu ‘Abbas pun menjawab, “Inilah yang diajarkan oleh Abul Qosim (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).” (HR. Ahmad:1/216)
Jadi kepada siapa saja kita bermakmum (sesuai ketentuan syari'at Islam), pada hakikatnya adalah boleh, karena aturan shalat itu sama( nidzamnya sama)
  1. KERINGANAN BAGI MUSAFIR
Keringan diberikan kepada musafir (orang yang bepergian) karena sangat dibutuhkan diantaranya:
  1. Mengqashar shalat (dzuhur dan 'ashar, dan 'isya')
  2. Menjama' shalat (dzuhur dan 'ashar, maghrib dan 'isya')
  3. Tidak puasa siang hari di bulan Ramadhan
  4. Mengerjakan shalat sunnah di atas kendaraan, menghadap sesuai melajunya kendaraan yang tumpanginya
  5. Mengerjakan shalat sunnah sambil berjalan, bagi musafir yang berjalan kaki
  6. Mengusap sepatu (ketika berwudhu' sepatunya tidak dilepas
  7. Tidak mengapa meninggalkan sunnah rawatib (shalat sunnah yang mengiringi shalat wajib)
  8. Menetapkan pahala amal, yang biasa dilakukan ketika muqim (tidak dalam bepergian)
  1. ALASAN NABI SAW MELAKUKAN JAMA' QASHAR
Shalat jama' dan qashar dalam pelaksanaannya harus di pisah dengan iqamah, artinya setelah selesai melakukan shalat yang pertama, maka harus iqamah untuk shalat berikutnya.
حَتَّى أَتَى الْمُزْدَلِفَةَ فَصَلَّى بِهَا الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ بِأَذَانٍ وَاحِدٍ وَإِقَامَتَيْنِ
”Ketika beliau sampai ke Muzdalifah, beliau menjamak shalat Maghrib dan ’Isya dengan sekali adzan dan dua kali iqomah.” (HR. Muslim)

































PENUTUP KESIMPULAN DAN SARAN
Dari paparan di atas dapat difahami bahwa shalat jama’ dan qashar merupakan rukhsah dan dibolehkan dalam bepergian atau keadaan darurat. Prinsipnya selagi manusia mempunyai kesempatan untuk melakukan shalat dan tidak menjadi darurat, selayaknya manusia tidak malu untuk segera melaksanakan shalat seperti biasanya. Menjadi suatu kewajiban bagi yang melaksanakan shalat menjadi suri tauladan bagi yang lain sehingga mengajari yang lainnya. Karena yang demikian adalah dari syi’ar Islam yang mesti dimuliakan.
Bagi yang mendapati kesulitan atau kesukaran dalam tiap kali shalat pada waktunya maka memungkinkan baginya untuk menjama’ shalat. Pemaparan hal itu sudah dikemukakan di atas tetapi dengan syarat tidak menjadi kebiasaan dan rutin dan hal tersebut tidak bermaksud selain untuk memudahkan dan tidak menyulitkan umat. Demikian, meski sering jalan-jalan, dan menempuh perjalanan panjang jangan lupa melaksakan sholat 5 waktu.




















DAFTAR PUSTAKA

0 comments:

Post a Comment